Sunday 31 December 2017

AKU BUKANLAH PERTEMUAN YANG KAU INGINKAN



                Senja terakhir di satu sore itu telah digantikan malamnya. Aku yang selalu suka bercerita dan mengukir tawa, harus tenggelam dalam keramaian dan kebisuan setelah ia memilih untuk menghindari pertemuan. Lalu lalang keramaian semakin memuncak di hari terakhir tahun itu, berlomba lomba menutup tahun dengan kebersamaan, bergandengan merayakan yang tak bisa ku rasakan, melawan dingin angin malam, di atas bukit merangkai kemesraan saat ia telah memilih untuk menikam kaku tubuh ini dengan pertemuan yang lebih ia inginkan.

                Membahas sebuah arti perayaan, aku tak begitu nafsu dengan apa yang orang-orang lakukan di kota malam itu, namun, wajarkah jika saja sekeping hati ini memilih untuk ciptakan harap bersama dengan yang semestinya ada, menutup hari dengan setelah lelah bersama, dan menyimpan malam sebagai kenang yang akan menuntun rasa rindu untuk kembali pulang ? Entah , aku tak pernah tahu tentang benar atau salahnya setiap bait yang ku dekap. Yang pasti, aku berada diantara hingar – bingar para pecandu keramaian, menjadi seongok hati yang ia miliki namun tak pernah ia genggam, dibiarkan linglung, sepi dan menghilang diantara ramainya malam pergantian tahun.

                Sudah jelas adanya, tapi hati tak pernah mau mengakuinya. Selalu saja keras kepala berusaha selalu ada meski tak sedikitpun ia mengharapkannya. Menolak tuk mengakui bahwa aku telah patah, hati ini tak berfikir tentang kapan ia akan dipadamkan dan hilang dari sebuah pengakuan. Harum aroma pembakaran tak ku hirup, saat janji kian membusuk.

                Udara semakin dingin, namun harap telah lama membeku, aku yang masih saja berharap dengan sebuah kehadirannya maka semua akan melebur. Tapi nyatanya setiap hangat dan tawa dari keramaian justru membius kata pada puncak hipotermia. Harap ini kaku dan mati setelah menyadari ada tawanya diantara keramaian bersama seorang, dimana pertemuannya tak sama sekali ia rencanakan . ledakan kembang api pun menerangi langit yang kokoh saling berbalas seiring dengan rentetan sayat yang menghantam ruang harap yang seketika runtuh olehnya. Jatuh mendomino, retak sudah genggaman yang selama ini dipertahankan, bibir membisu dan kaki pun tak sanggup melangkah lebih jauh, hingga akhirnya terbakar sudah semua yang beku, saat semua orang saling memeluk, ku lihat dekapnya semakin erat dan nyatanya, harap ku telah ia hempaskan, sebagai kisah yang kini tergantikan, tanpa ucapan.

***


Lalu,

                Seiring terbakarnya diantara pelukan, aku menjalema kembang api yang ia lontarkan, siap sajikan indah meski hancur terbakar, lalu menghilang di antara selimut malam.



Rizkia, 01/01/18

No comments:

Post a Comment