Tulisan ini merupakan sambungan dari tulisan Elvie Luthfia FS,
baca tulisannya, disini.
...
Kamu memang
bukan pemberi harapan, tapi kamulah perawatnya,
Bahkan jauh
sebelum aku tanam.
Untuk
beberapa sempat yang terlanjur tersemat dalam setiap dekap, pada namamu,
harapan menjadi satu hal yang tak akan bisa habis diperbincangkan. Juga sudah semakin
jelas kini semua tersingkap, bahwa padamulah segala makna dekat dapat terus bertambah
rekat. Lalu tak lupa pada tawamu, yang seringkali tercipta dari bujuk rayu dan
canda antara kamu dan aku; telah berhasil membuat tatapku memaku dalam beku dan
tertambat begitu kuat. Sejatinya, aku, tak hanya ingin kau berada nyaman di
luar rumah, malainkan juga berharap agar telinga dan genggaman ini dapat
menjadi tempatmu, menemukan lain kepulangan.
Maaf
bila selama itu, rasa perhatianku terkesan memaksakan kehendaknya, hingga
seakan-akan Ia merasa telah memilikimu, lalu mengganggu. Saat itu, sejujurnya
bukan hanya kamu yang terganggu, tapi juga aku sendiri –aku terganggu, oleh kenyataan-kenyataan di
luar sana yang selama ini hanya buatmu kecewa, Aku terganggu, dengan
mereka-mereka yang aku anggap beruntung telah sempat memilikimu lalu mudah
meninggalkanmu, sekali lagi aku pun terganggu, oleh beberapa hal yang mereka
nyatakan sebagai janji tapi akhirnya hanya merupa angin lalu. Mungkin dengan
semua ini kamu benar, Kehadiranku terlalu membuatmu sibuk dengan harus
menghargai perasaanku, hingga kamu sendiri lupa dengan perasaanmu.
Kamu
sudah tau bahwa aku memang benar menyayangimu, tapi yang belum kamu tau adalah
pernyataanku sebenarnya hanya ingin ku akhiri dengan titik, bukan dengan tanda
tanya yang harus kemudian buatmu repot dengan jawaban seperti apa nantinya.
Juga
seperti halnya yang kamu bilang, bahwa pada setiap upayaku kamu hanya ingin
bersikap adil selumrahnya teman baik; baik! sepenuhnya mampu aku percaya! Justru
jauh sebelum kehadiranku kamu sudah sepenuhnnya baik, bahkan mungkin terlalu
baik. Semua hal terbukti dengan ketidakmampuanmu mengabaikanku. Tapi mengapa?
Bukankah kamu bilang kamu tak ingin harapan itu tercipta? Bila selama ini aku
adalah hama, mengapa lantas waktu itu kamu sempat tumbuh dan berbunga? Mengapa
tidak langsung saja kamu bunuh aku dengan penolakanmu? Mengapa kamu biarkan aku
hidup untuk lagi-lagi berlari “mengganggumu”?
Aku
setuju kamu dan aku punya masing-masing kehidupan, dengan sekian hak untuk
menerima juga bersikap. Kamu punya kendali –pun sama denganku. tapi perlu kamu
tau, selama ada kesempatan, harapan takan pernah bisa terkendali semudah itu,
Ia akan tetap tumbuh meski sempat berkali-kali kamu siram dengan air mata.
Maka
tutup sajalah sudah semua kesempatanmu itu, bunuh aku dengan penolakan, maka
dengan itu dipastikan aku akan mundur meski perlahan. Kembali mengubur diri
bersama benih-benih yang sebenarnya belum sempat aku semai. Untuk ceriamu,
untuk senyummu, dalam ranah definsi bahagiamu.
Kamu tetaplah yang terbaik,