“Kau ; yang belum
tergantikan, karena aku yang belum mau menggantikan.”
Dari sekian banyak hal yang sempat aku mulai, mengenang segala
indah tentang kau dan aku, tetaplah satu yang sangat sulit terurai. Bukan tanpa
sebab, karena entah mengapa rindu tak pernah memilih absen dalam setiap kali
aku mencoba untuk melupakanmu. Sejujurnya,
padamu, jangankan untuk membenci, rencana
untuk memilih pergi pun tidak pernah hadir dalam hatiku –sesakit apapun sikapmu.
Aku sadar, kita adalah satu hal yang harus berakhir, karena
lagi-lagi kita tak bisa hanya menerima untuk memulai tanpa menerima untuk
selesai. Seindah apa kita, semua telah usai dan seburuk apapun akhir, semua
telah berbuah takdir, terima atau tidak, siap atau tidak siap, kenyataan akan
selalu memeluk impi juga khayalan begitu erat.
Bahkan saat aku tahu, dariku kau sudah berhasil lebih dulu untuk beralih
genggaman juga berpindah dekapan, aku tetap berpegang dalam makna kesetiaan,
entah apa mauku, yang jelas aku belum sepenuhnya sadar, bahwa aku telah
benar-benar tergantung di tengah kecamuk arti kehilangan. Menjalema kebodohan,
aku justru menunggumu yang jelas-jelas tak mungkin lagi menunggu.
Sungguh, kehilangan adalah satu hal yang amat rumit,
terlebih, saat kita tak berencana untuk menerima. Ingatanku sempat lenggang sejenak, saat sakit mulai menusuk
di antara rusuk, kala melihat tangismu beralih ke lain peluk. mengingat lagi semua, kian jadi sesak karena di antara kau dan aku pernah banyak sekali hal yang sebelumnya telah sempat berhasil.
Dulu aku yang disana ; bersemayam sebagai rumah untuk kau
pulang, sebagai telapak tangan terbaik untuk mengusap basah –tetesan tangis di
pipimu, sebagai pundak yang kokoh menampung segala resah, juga telinga sebagai
tempat terluas untuk kau tumpahkan segala cerita. Seorang yang pernah kau anggap terbaik, dan
sekaligus pernah kau terima.
Dan ketika semua berakhir, aku baru sadar, ternyata tak
sedikitpun bisa tersisa di sana. Aku menjadi bilangan yang tak kau sebutkan,
menjadi hilang yang tak kau cari, juga menjadi rapuh yang takan lagi kau
kuatkan.
Maka maafkanlah bila selama ini aku hanya bisa untuk selalu
mengenangmu dengan kata-kata, karena entah dengan cara apa lagi aku harus
melupakanmu di hadapan realita.
Sakit, tapi harus Aku akui, bahwa aku telah menjadi yang
tergantikan saat belum sanggup menggantikan.