Tuesday 21 June 2022

Bulan

 Tidak banyak yang tahu bagaimana pastinya aku terlahir, hadirku sejatinya masihlah menjadi sebuah keterasingan semesta, banyak yang berasumsi bahwa aku bagian dari bumi, yang terpisah dan menjadikan diriku utuh sendiri -berdikari dalam gravitasi, ada juga yang berpendapat bahwa sejak awal aku bukanlah bagian dari manapun, aku tercipta sendiri, dan asumsi terakhir ialah tentang kelahiranku berada jauh di antah berantah semesta, yang tak sengaja terikat pada gravitasi bumi kala melintas.

 

masih banyak teori-teori yang manusia bicarakan tentang bagaimana aku bisa hadir, tapi sejujurnya, aku sendiri benar-benar tak peduli bagaimana aku tercipta, karena yang ku pedulikan saat ini ialah, aku Bahagia, bisa melintasi bumi, menemani sisi dingin dari setiap gelapnya, walau bumi memilih sibuk mengitari matahari, yang cahayanya kerap menyembunyikan hadirku.

 

Tidak jarang aku malu, terutama saat aku mengetahui bahwa aku memberikan banyak dampak bagi Bumi, untuk setiap surut dan pasang lautnya, terang gelap malamnya, hingga ketetapan perhitungan waktu di dalamnya.

 

Aku, kerap bertanya pada keheningan, apakah benar aku se-dibutuhkannya? Ataukah mungkin aku terlalu merepotkan? Jika aku hilang, apakah semua baik-baik saja? Karena aku selalu yakin akan ada suatu masa kesedihan menimpa bumi dan aku menjadi sebabnya.

 

Tapi aku tak punya pilihan, orbit telah mengatur semua garisnya, dan aku terlanjur hadir sebagai satu-satunya hal terdekat yang bumi miliki, meski harus menjaga garis edar, agar tidak tidak mengubah ketetapan untuk menjadi lebih dekat atau pun menjauh.

 

Bumi, aku bersamamu.


Lantas bagaimana bila aku tidak berhasil menemukanmu?

 Ruang pencarian ini semakin menghimpitku dengan banyak tanya, Ia menyerbu jam istirahat bersamaan dengan tak tik tuk detik jarum terpanjang di jam dinding.

Nafas yang kian tersengal dan suara yang semakin parau, mulai berhenti menyuarakan kekalahan yang tak pantas diglorifikasi, usang tak berarah, terhapus kekalahan telak atas masa lalu yang sukses mengasingkan dirinya.


Jujur saja, di dadaku Hujan telah reda, namun langit masih kelabu dan bodohnya aku masih tengadah, berharap cercah dapat menghadiakanku segaris tipis pelangi.


Saat ini aku tak tahu dimana tepatnya aku berdiri, yang jelas, aku tak ingin kehilangan diri baik dengan berlari atau apa pun tindakannya yang kunamai perjuangan.


Ketakutan menyeruak ke dalam lumbung harapan, mengobrak abrik hening yang telah lama terjaga, bagaimana bila aku tidak menemukanmu? Bagaimana bila aku gagal bersaing? Bagaimana bila nyatanya kata pantas tak pernah ku dengar dari bibirmu?


Dalam sesak ini terkadang aku merasa ingin kembali sendiri saja, tak memcarimu, dan tidak dicari.


Jika kemudian hari ini kau ternyata memilih menungguku, lebih baik aku berharap agar seorang dapat segera menjemputmu, karena menungguku hanya akan terasa seperti aku menunggu pelangi kala awan kelabu betah menetap di dalam kepala.