Alasan setiap jiwa tercipta sendiri adalah untuk
saling menemukan, bukan membiasakan sepi, apalagi berkutat menuntut yang telah
pergi.
Apa benar kamu
sudah berteman dengan sepi? Kemana-mana merasa bisa seorang diri? Coba yakinkan
dirimu sekali lagi, hentikan langkahmu, tutup bukumu, atau hentikan usapan
jarimu pada layar yang sebenarnya tak ada satupun kesibukan harus kau
pentingkan. Tak perlu melihat sekeliling, cukup lihat saja dirimu sendiri dalam
bayang selama ini yang kau anggap “tidak apa-apa”.
Sekuat apapun
jiwa, dihadapan sepi ia tak punya cara. Berusaha sibuk sendiri? Meng-iya-kan
segala situasi, masa bodoh dengan setiap canda dari mereka yang saling
menggenggam? Berharap baik-baik saja padahal hati tak baik hanyalah
kemustahilan - upaya terbaik dalam menipu hati sendiri.
Harusnya
beberapa orang mulai mencintai keramaian, karena disana mereka akan berkenalan
dengan sepi lalu lantas akan menemui dirinya sendiri, karena setiap orang lupa bahwa mereka adalah jiwa yang berjalan
sendiri lalu menuntut ditemani. Beberapa diantaranya juga harus belajar agar
tak berkomentar pada setiap pahit di segelas kopi yang sulit ditakar dengan
rasa kehilangan ; berlalu lalang tumbuh menjalar di ingatan, nyaman bersemayam
terbuai dengan pernah adanya indah pada satu masa.
Tak perlu
dibahas lagi, setiap orang pasti tersiksa oleh yang namanya “belama-lama
sendiri”, dan setiap mereka butuh ditemani ; dalam artian benar-benar di
sepanjang usia atau bahkan “hanya sebatas ditemani”. Disini masa lalu bukan lah
satu hal yang harus kita perbincangkan, karena mungkin kau, dia, mereka dan
semua, pasti pernah terluka, sekecil apapun itu, luka harusnya hanya sebatas
mengubah kita menjadi lebih peka terhadap rasa, bukan sebagai motivasi untuk
kemudian menyendiri lalu menutup diri.
Kau tau kau
layak bahagia, kau mengerti kau pantas dicintai, tapi kau tak pernah bisa
kuasai diri kepada siapa perasaan harus kau pertaruhkan. Hingga lagi-lagi
salahkan keadaan dengan mengurung diri dalam jeruji kekecewaan. Luka ada untuk
kau sembuhkan, untuk kemudian kau ketahui mana yang pantas diterima dan mana
yang harus segera dihindari. Andaikan juga kau mengerti, bahwa selalu ada
celah bagi setiap hati untuk disembuhkan oleh mereka yang mati meski tak ingat
pernah kau bunuh, yang pernah kau lepaskan – dengan atau tanpa jelasnya sebuah penolakan.
Selama ini
kau, mereka, kita semua, hanya membuta saat terluka. Padahal siapakah kita
berani-beraninya mengutuk cinta(?)