Saturday 12 October 2019

KAMU TERBAIK!

Tulisan ini merupakan sambungan dari tulisan Elvie Luthfia FS,
 baca tulisannya, disini.
...


Kamu memang bukan pemberi harapan, tapi kamulah perawatnya,
Bahkan jauh sebelum aku tanam.

Untuk beberapa sempat yang terlanjur tersemat dalam setiap dekap, pada namamu, harapan menjadi satu hal yang tak akan bisa habis diperbincangkan. Juga sudah semakin jelas kini semua tersingkap, bahwa padamulah segala makna dekat dapat terus bertambah rekat. Lalu tak lupa pada tawamu, yang seringkali tercipta dari bujuk rayu dan canda antara kamu dan aku; telah berhasil membuat tatapku memaku dalam beku dan tertambat begitu kuat. Sejatinya, aku, tak hanya ingin kau berada nyaman di luar rumah, malainkan juga berharap agar telinga dan genggaman ini dapat menjadi tempatmu, menemukan lain kepulangan.


Maaf bila selama itu, rasa perhatianku terkesan memaksakan kehendaknya, hingga seakan-akan Ia merasa telah memilikimu, lalu mengganggu. Saat itu, sejujurnya bukan hanya kamu yang terganggu, tapi juga aku sendiri  –aku terganggu, oleh kenyataan-kenyataan di luar sana yang selama ini hanya buatmu kecewa, Aku terganggu, dengan mereka-mereka yang aku anggap beruntung telah sempat memilikimu lalu mudah meninggalkanmu, sekali lagi aku pun terganggu, oleh beberapa hal yang mereka nyatakan sebagai janji tapi akhirnya hanya merupa angin lalu. Mungkin dengan semua ini kamu benar, Kehadiranku terlalu membuatmu sibuk dengan harus menghargai perasaanku, hingga kamu sendiri lupa dengan perasaanmu.


Kamu sudah tau bahwa aku memang benar menyayangimu, tapi yang belum kamu tau adalah pernyataanku sebenarnya hanya ingin ku akhiri dengan titik, bukan dengan tanda tanya yang harus kemudian buatmu repot dengan jawaban seperti apa nantinya.


Juga seperti halnya yang kamu bilang, bahwa pada setiap upayaku kamu hanya ingin bersikap adil selumrahnya teman baik; baik! sepenuhnya mampu aku percaya! Justru jauh sebelum kehadiranku kamu sudah sepenuhnnya baik, bahkan mungkin terlalu baik. Semua hal terbukti dengan ketidakmampuanmu mengabaikanku. Tapi mengapa? Bukankah kamu bilang kamu tak ingin harapan itu tercipta? Bila selama ini aku adalah hama, mengapa lantas waktu itu kamu sempat tumbuh dan berbunga? Mengapa tidak langsung saja kamu bunuh aku dengan penolakanmu? Mengapa kamu biarkan aku hidup untuk lagi-lagi berlari “mengganggumu”?


Aku setuju kamu dan aku punya masing-masing kehidupan, dengan sekian hak untuk menerima juga bersikap. Kamu punya kendali –pun sama denganku. tapi perlu kamu tau, selama ada kesempatan, harapan takan pernah bisa terkendali semudah itu, Ia akan tetap tumbuh meski sempat berkali-kali kamu siram dengan air mata.


Maka tutup sajalah sudah semua kesempatanmu itu, bunuh aku dengan penolakan, maka dengan itu dipastikan aku akan mundur meski perlahan. Kembali mengubur diri bersama benih-benih yang sebenarnya belum sempat aku semai. Untuk ceriamu, untuk senyummu, dalam ranah definsi bahagiamu.

Terima Kasih,
Kamu tetaplah yang terbaik,

Monday 30 September 2019

JATUH


Padamu, sesenang ini aku terjatuh.

Bagiku jatuh cinta bukan hanya tentang tujuan, melainkan cara bagaimana kita berperan dihadapan Tuhan. Tidak mabuk kala Ia dimekarkan, tidak candu saat ia ditumbuhkan, juga tak ikut mati pada hari ia digugurkan.


Tak perlu rasanya menjelaskan bagaimana bisa Aku mencintaimu. Karena aku yakin, kau pun sudah menemukan jawabannya, tepat saat kau bernafas ; kau hidup, di tempat yang kau terima, di tempat yang menerimamu dan dimana pun, termasuk di ingatanku.


Aku ingin kau tau, bahwa dengan mencintaimu, secara tidak langsung aku telah menjadi seperti apa yang aku ingin. Ketika harapan-harapan mulai menjamah pada senyummu yang terasa sejuk, kala bincang demi bincang bersemayam sebegitu nyaman pada pelupuk rindu, juga saat air matamu, berhasil tumbuhkan kokohnya rasa percaya pada pundak yang pernah kau jadikan lahan kesedihan. Disanalah, pada warna-warna itu aku terperanjat turun, untuk menjemput lain kenyataan yang ku kira bahagia.


Belum lama gravitasi menuntunku turun, gemuruh kemudian mendesak kesadaran yang telat Aku sadari, kenyataan mendadak menyingkap sela jemarimu yang nyatanya telah lama terisi, menyibak dekap yang telah lama dijaga erat, atas nama dari sepasang hati yang sudah lama saling memahat.


Seperti yang aku kira, dalam perjalanan jatuhku, angin mendorong harapan untuk kemudian jatuh lebih kuat, menghantam percaya, runtuhkan setiap bayang yang seharusnya jadi indah di atas sana. Aku terjatuh, lalu kembali lumpuh.
Salah sejak awal.


Aku kira kau adalah cahaya, yang lalu dengan jatuhku akan lahirkan warna-warna.


Namun tak apa, karena lagi-lagi bagiku tak setiap jatuh cinta adalah nilai sempurna yang harus selalu dikejar, maka rasanya untuk apa saat itu padamu Aku terlalu berupaya? Seringnya, Aku hanya mengikuti kemana angin realita menghembusku.
Bahkan, kala padamu Aku Jatuh cinta, seketika aku rasa untuk saat ini, lebih baik di hadapanmu aku menjadi titik-titik air hujan saja; begitu memutuskan untuk turun, Ia tak pernah meminta kembali pulang –meski pada ujung perjalanan, hanyalah jatuh yang akan ia temukan.



Lalu matahari kembali menyeru, harapku kembali menguap ke udara, untuk bersiap pada hati manakah Aku akan kembali terjatuh.


Maka kosongkanlah genggamanmu, karena barangkali, suatu saat semua bisa kembali padamu.

Mungkinkah?

Monday 10 June 2019

TAK TERGANTI



“Kau ; yang belum tergantikan, karena aku yang belum mau menggantikan.”



Dari sekian banyak hal yang sempat aku mulai, mengenang segala indah tentang kau dan aku, tetaplah satu yang sangat sulit terurai. Bukan tanpa sebab, karena entah mengapa rindu tak pernah memilih absen dalam setiap kali aku mencoba untuk melupakanmu.  Sejujurnya, padamu, jangankan untuk membenci,  rencana untuk memilih pergi pun tidak pernah hadir dalam hatiku –sesakit apapun sikapmu.


Aku sadar, kita adalah satu hal yang harus berakhir, karena lagi-lagi kita tak bisa hanya menerima untuk memulai tanpa menerima untuk selesai. Seindah apa kita, semua telah usai dan seburuk apapun akhir, semua telah berbuah takdir, terima atau tidak, siap atau tidak siap, kenyataan akan selalu memeluk impi juga khayalan begitu erat.


Bahkan saat aku tahu, dariku kau sudah berhasil lebih dulu untuk beralih genggaman juga berpindah dekapan, aku tetap berpegang dalam makna kesetiaan, entah apa mauku, yang jelas aku belum sepenuhnya sadar, bahwa aku telah benar-benar tergantung di tengah kecamuk arti kehilangan. Menjalema kebodohan, aku justru menunggumu yang jelas-jelas tak mungkin lagi menunggu.



Sungguh, kehilangan adalah satu hal yang amat rumit, terlebih, saat kita tak berencana untuk menerima. Ingatanku sempat lenggang sejenak, saat sakit mulai menusuk di antara rusuk, kala melihat tangismu beralih ke lain peluk. mengingat lagi semua, kian jadi sesak karena di antara kau dan aku pernah banyak sekali hal yang sebelumnya telah sempat berhasil.


Dulu aku yang disana ; bersemayam sebagai rumah untuk kau pulang, sebagai telapak tangan terbaik untuk mengusap basah –tetesan tangis di pipimu, sebagai pundak yang kokoh menampung segala resah, juga telinga sebagai tempat terluas untuk kau tumpahkan segala cerita. Seorang yang pernah kau anggap terbaik, dan sekaligus pernah kau terima.


Dan ketika semua berakhir, aku baru sadar, ternyata tak sedikitpun bisa tersisa di sana. Aku menjadi bilangan yang tak kau sebutkan, menjadi hilang yang tak kau cari, juga menjadi rapuh yang takan lagi kau kuatkan.


Maka maafkanlah bila selama ini aku hanya bisa untuk selalu mengenangmu dengan kata-kata, karena entah dengan cara apa lagi aku harus melupakanmu di hadapan realita.
Sakit, tapi harus Aku akui, bahwa aku telah menjadi yang tergantikan saat belum sanggup menggantikan.



Saturday 4 May 2019

JERUJI SENDIRI



Alasan setiap jiwa tercipta sendiri adalah untuk saling menemukan, bukan membiasakan sepi, apalagi berkutat menuntut yang telah pergi.

Apa benar kamu sudah berteman dengan sepi? Kemana-mana merasa bisa seorang diri? Coba yakinkan dirimu sekali lagi, hentikan langkahmu, tutup bukumu, atau hentikan usapan jarimu pada layar yang sebenarnya tak ada satupun kesibukan harus kau pentingkan. Tak perlu melihat sekeliling, cukup lihat saja dirimu sendiri dalam bayang selama ini yang kau anggap “tidak apa-apa”.

Sekuat apapun jiwa, dihadapan sepi ia tak punya cara. Berusaha sibuk sendiri? Meng-iya-kan segala situasi, masa bodoh dengan setiap canda dari mereka yang saling menggenggam? Berharap baik-baik saja padahal hati tak baik hanyalah kemustahilan - upaya terbaik dalam menipu hati sendiri.

Harusnya beberapa orang mulai mencintai keramaian, karena disana mereka akan berkenalan dengan sepi lalu lantas akan menemui dirinya sendiri, karena setiap orang  lupa bahwa mereka adalah jiwa yang berjalan sendiri lalu menuntut ditemani. Beberapa diantaranya juga harus belajar agar tak berkomentar pada setiap pahit di segelas kopi yang sulit ditakar dengan rasa kehilangan ; berlalu lalang tumbuh menjalar di ingatan, nyaman bersemayam terbuai dengan pernah adanya indah pada satu masa.

Tak perlu dibahas lagi, setiap orang pasti tersiksa oleh yang namanya “belama-lama sendiri”, dan setiap mereka butuh ditemani ; dalam artian benar-benar di sepanjang usia atau bahkan “hanya sebatas ditemani”. Disini masa lalu bukan lah satu hal yang harus kita perbincangkan, karena mungkin kau, dia, mereka dan semua, pasti pernah terluka, sekecil apapun itu, luka harusnya hanya sebatas mengubah kita menjadi lebih peka terhadap rasa, bukan sebagai motivasi untuk kemudian menyendiri lalu menutup diri.

Kau tau kau layak bahagia, kau mengerti kau pantas dicintai, tapi kau tak pernah bisa kuasai diri kepada siapa perasaan harus kau pertaruhkan. Hingga lagi-lagi salahkan keadaan dengan mengurung diri dalam jeruji kekecewaan. Luka ada untuk kau sembuhkan, untuk kemudian kau ketahui mana yang pantas diterima dan mana yang harus segera dihindari. Andaikan juga kau mengerti, bahwa selalu ada celah bagi setiap hati untuk disembuhkan oleh mereka yang mati meski tak ingat pernah kau bunuh, yang pernah kau lepaskan – dengan atau tanpa jelasnya sebuah penolakan.

Selama ini kau, mereka, kita semua, hanya membuta saat terluka. Padahal siapakah kita berani-beraninya mengutuk cinta(?)


Thursday 7 March 2019

PERSEMBUNYIAN




“Nyaman mengejar lalu memendam, karena bahagia darimu belum tunjukan kepastian”

                Mengharapkanmu pernah menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan, bahkan kala aku  kamu biarkan berlari tanpa berujung memiliki. Saat yang ada di isi kepala hanya kamu, aku merasa diwarnai, dan padamu, jatuh cinta pernah bermakna bahagia. Entah aku yang masih terlalu takut menerima kenyataan buruk darimu bila harus ku ungkap semua rasa ini, atau memang kamu-nya saja yang terlalu hebat membuat seseorang nyaman walau tanpa harus jadi yang  kamu miliki.

              Dari sejak itu, aku semakin damai dalam mimpi-ku sendiri, berangan kan bisa menggenggam erat setiap sela jarimu, merangkul hangat setiap gundahmu, memeluk penuh semua kesalmu, walau ku sadari, semua tak pernah kembali.

                Andai saja kamu saat itu tidak dimiliki, atau tuhan mengizinkan aku yang menemukanmu pertama kali, mungkin memendam cinta tak pernah menjadi sepanjang ini. Harus lagi-lagi mengalah saat hangat sapa-mumemudar karena bukanlah aku yang menjadi prioritas bagi kerinduanmu – melainkan Ia yang seringnya kamu ceritakan sebagai ketidakpastian bila disandingkan dengan masa depan.

                Tapi yang payah tetaplah aku, sesibuk apapun Ia yang katanya memilikimu, sesulit apapun hadirnya untukmu, setidaknya Ia telah menjadi seseorang yang pernah  jujur atas segala perasaannya padamu, mengungkap setiap gundahnya, hingga akhirnya kamu izin kan ia sebagai pengisi hati yang paling kamu percayakan, sedangkan tidak denganku, yang mengaku saja rindu tapi tak pernah berani ungkapkan sebuah rasa yang harusnya bertamu.

                Dihatimu, aku tak pernah punya tempat, namun dihatiku, kamu selalu menjadi yang paling dekat, melekat rekat, tanpa ada yang menggugat. Beberapa hati sempat hadir namun kamu lagi yang selalu juara diakhir.

                Baikalah, karena tak mungkin bagiku menunggumu berakhir, maka izinkanlah jika aku memang harus terus memendam semua ini hingga akhir. Aku tak bisa janjikan apapun untukmu, karena aku sendiri tau, bila kamu tak pernah menunggu janji, baik saat sendiri, apalagi saat dimiliki.

Padamu cinta ini terukir ;
masih setia menunggu,
dalam nyamannya persembunyian
tanpa akhiran.


Saturday 5 January 2019

MUNGKIN



Aku masih menganggapmu sebagai ketidak mungkinan, yang bisa saja menjadi mungkin. Mungkin.


Apa aku salah jika hingga detik ini aku masih menjatuhkan hati padamu ?
Apa aku keliru jika aku tempatkan harap ku ini tepat di hadapanmu ?
jika salah, maka kenapa kamu tak kunjung pergi ? Sejak dulu, atau lambatnya saat ini.
Mengapa kamu terus saja bisa membuatku tenang atas apa yang ku pertaruhkan disini ?
Memang betul, ini hanya sebuah perasaan, tapi apakah perasaan merupakan bagian terpenting dari semua ini ?

Apa yang membuatmu tak kunjung jujur dengan ini?
Apa mungkin kamu tidak tahu, bahwa selama ini yang ku tunggu adalah kamu ?
Apa mungkin kamu telah dimiliki ?
Atau mungkin selama ini memang kamu hanya menjadikanku sebagai ruang singgah untuk menunggu seseorang datang ?

Ah tidak mungkin, bila kamu saat ini dimiliki, kamu tidak akan terlihat sepi, dan apa-apa sendiri. Dan juga tidak mungkin, jika kamu sedang menunggu seseorang, akan bisa sampai selama ini.
Jelas-jelas ini hanya sebuah ketidak mungkinan, jika kamu pertaruhkan sesuatu, untuk yang belum jelas ada datangnya.

Dan jika semua ini berubah menjadi mungkin. Masih ada beberapa pertanyaan lagi dariku yang sampai saat ini masih kamu genggam sebelum benar-benar pergi.

040119
Rizkia M Yusuf