Thursday 2 November 2017

DENGAN SAPAAN KAU MENJEMPUT KEPERGIAN

                Tak pernah ada kehadiran yang tak hilang,
                Semua tentang harapan hanya akan kembali menjadi kenang,
                Sekeras apapun kamu berteriak “I love U” semua akan kembali bisu hanya oleh waktu.
                Karena sejauh apapun perjalanan pasti akan temukan sebuah akhiran,


                Baik itu karena sudah waktunya mendekorasi pelaminan, atau sekalipun kembali harus merapikan harapan karena ditinggalkan.


                Pagi itu terlalu gelap bagiku, surya menyingsing namun cahayanya tak kunjung cerah. Angin juga bertiup tetapi aku tak bisa bernafas, sesak rasanya, Gitarku tergeletak, namun alunan lagu patah hati masih saja mengalun seiring jatuhnya embun pada kisah patah yang hancur secara beruntun. Mendomino dalam sanubari yang begitu dekat dengan rasa pahit serupa dasar secangkir kopi.


                Disanalah aku dengan sejuta rapuhku, yang selalu saja berlagak kuat dan mampu, setelah sayatan harap kembali membunuhku. Bersembunyi di balik kata penuh romansa, seolah sajikan fakta tentang cinta, serupa berteman dengan luka, padahal akupun muak di dalamnya.


                Ingin ku menggugat kehadiran rasa dalam setiap cerita yang selalu saja bisa datang dengan tiba – tiba. Datang dan singgah, bercerita akan khayal dan cita. Namun ia hilang kembali dan lagi lagi aku yang harus hancur sendiri. Berdansa dengan ironi bergaunkan luka.


                Mengangkat kembali kasus dengan siapa curhatnya tapi sama siapa jadinya. Berharap dengan kamu hariku selalu bisa ditemani, tapi gemuruh dalam hati tak kunjung pergi. Dan sekali lagi aku yang dengan bodohnya berharap pada yang tak akan pernah tiba, yang abaikan aku dan selalu adanya hadirku.


                akulah yang merengkuh setiap dukamu saat hadir sebuah tanya kepada siapa kelak kamu akan bercerita. Yang berusaha tetap hangat saat nyatanya aku sendiri dilalap oleh dinginnya sikapmu. Dan aku yang berusaha tetap menjadi angin sejuk saat kamu kembali berpaling pada kisah lama yang telah kau bakar bersamaku di panasnya tungku perapian.


                Dan Siangnya, saat kau bereskan semua bekal yang kau rasa cukup kembali membawamu pergi berkelana lagi, kau tinggalkan aku sendiri dalam tenda beserta sisa sisa hangat api, yang kini berupa abu. tersesat dalam hampa, kehilangan arah dalam hatimu yang serupa rimba, antara ada dan tiada, akulah yang dulu kau cari, kini entah siapa yang harus kembali kau singgahi nanti.


            Dering ponsel yang selama ini sangat piawai membuat hari terasa ramai, harus terhenti mengiringi langkah yang kian gontai. Dan aku yang tak pernah tahu akan hadirnya di hidupmu, telah menjadi satu notifikasi terakhir yang ku tahu darimu.

                Aku tak perah menyalahkan akan semua keputusanmu untuk memilihnya, dan sekalipun aku tidak pernah membenci dirinya yang tiba – tiba saja hadir untukmu saat aku masih benar benar mengharapkanmu.

                Aku sangka,
dengan hadirku yang selalu ada akan membuatmu sadar betapa besar sebuah harap yang ku punya.
                Aku sangka
Dengan sejuta rangkai canda buahkan tawa, akan selalu bisa membuatmu melupakan semua perihal  tentang luka.
                Nyatanya Tidak.
Kamu hanya mementingkan setiap rasa yang kamu punya saja, tanpa menghiraukan tentang apa yang aku simpan padanya, hingga tiba saatnya , ketika aku merasa paling bisa mendaki puncak harap dalam hatimu, Seketika kamu runtuhkan tubuh ini, kamu lepaskan pelukan seakan kamu berani untuk kembali kedinginan.


Lalu sorenya, selepas darimu yang sudah tidak ingin tahu keberadaanku,
tepat 5 menit sebelum air mendidih.
Kembali harus aku seduh sebuah sedih yang sengaja tidak ku sudahi.
Namun, disisa hari ini.  Tepat lima menit sebelum senja pergi.
Aku sudah merasakan kehilangan yang begitu membuatku hampa tanpa cahaya.
Dan, tepat 3 jam setelah hujan reda
Pipiku masih saja basah oleh kecewa yang selama ini bermuara pada duka sebuah luka yang kesekian kalinya. Meluap, mengalir, dan berahir pada kisah dengan resah, membasahi bibir dengan senyuman yang patah.


             Terima kasih, dariku yang tak pernah kamu tahu bagaimana akan perasaannya.

Denganmu, kembali ku tersadar, bahwa akan selalu hadir jutaan tawa berbuah bahagia sebelum satu luka kembali menyapa.