Tak pernah ada kehadiran yang
tak hilang,
Semua tentang harapan hanya akan
kembali menjadi kenang,
Sekeras apapun kamu berteriak “I
love U” semua akan kembali bisu hanya oleh waktu.
Karena sejauh apapun perjalanan
pasti akan temukan sebuah akhiran,
Baik itu karena sudah waktunya
mendekorasi pelaminan, atau sekalipun kembali harus merapikan harapan karena
ditinggalkan.
Pagi
itu terlalu gelap bagiku, surya menyingsing namun cahayanya tak kunjung cerah.
Angin juga bertiup tetapi aku tak bisa bernafas, sesak rasanya, Gitarku
tergeletak, namun alunan lagu patah hati masih saja mengalun seiring jatuhnya
embun pada kisah patah yang hancur secara beruntun. Mendomino dalam sanubari
yang begitu dekat dengan rasa pahit serupa dasar secangkir kopi.
Disanalah
aku dengan sejuta rapuhku, yang selalu saja berlagak kuat dan mampu, setelah
sayatan harap kembali membunuhku. Bersembunyi di balik kata penuh romansa,
seolah sajikan fakta tentang cinta, serupa berteman dengan luka, padahal akupun
muak di dalamnya.
Ingin
ku menggugat kehadiran rasa dalam setiap cerita yang selalu saja bisa datang
dengan tiba – tiba. Datang dan singgah, bercerita akan khayal dan cita. Namun
ia hilang kembali dan lagi lagi aku yang harus hancur sendiri. Berdansa dengan
ironi bergaunkan luka.
Mengangkat
kembali kasus dengan siapa curhatnya tapi sama siapa jadinya. Berharap dengan
kamu hariku selalu bisa ditemani, tapi gemuruh dalam hati tak kunjung pergi.
Dan sekali lagi aku yang dengan bodohnya berharap pada yang tak akan pernah tiba,
yang abaikan aku dan selalu adanya hadirku.
akulah
yang merengkuh setiap dukamu saat hadir sebuah tanya kepada siapa kelak kamu
akan bercerita. Yang berusaha tetap hangat saat nyatanya aku sendiri dilalap
oleh dinginnya sikapmu. Dan aku yang berusaha tetap menjadi angin sejuk saat
kamu kembali berpaling pada kisah lama yang telah kau bakar bersamaku di
panasnya tungku perapian.
Dan
Siangnya, saat kau bereskan semua bekal yang kau rasa cukup kembali membawamu
pergi berkelana lagi, kau tinggalkan aku sendiri dalam tenda beserta sisa sisa
hangat api, yang kini berupa abu. tersesat dalam hampa, kehilangan arah dalam
hatimu yang serupa rimba, antara ada dan tiada, akulah yang dulu kau cari, kini
entah siapa yang harus kembali kau singgahi nanti.
Dering ponsel yang selama ini sangat piawai membuat
hari terasa ramai, harus terhenti mengiringi langkah yang kian gontai. Dan aku
yang tak pernah tahu akan hadirnya di hidupmu, telah menjadi satu notifikasi
terakhir yang ku tahu darimu.
Aku
tak perah menyalahkan akan semua keputusanmu untuk memilihnya, dan sekalipun
aku tidak pernah membenci dirinya yang tiba – tiba saja hadir untukmu saat aku
masih benar benar mengharapkanmu.
Aku
sangka,
dengan hadirku yang selalu ada akan membuatmu
sadar betapa besar sebuah harap yang ku punya.
Aku
sangka
Dengan sejuta rangkai canda buahkan tawa, akan
selalu bisa membuatmu melupakan semua perihal tentang luka.
Nyatanya
Tidak.
Kamu hanya mementingkan setiap rasa yang kamu
punya saja, tanpa menghiraukan tentang apa yang aku simpan padanya, hingga tiba
saatnya , ketika aku merasa paling bisa mendaki puncak harap dalam hatimu,
Seketika kamu runtuhkan tubuh ini, kamu lepaskan pelukan seakan kamu berani
untuk kembali kedinginan.
Lalu sorenya, selepas
darimu yang sudah tidak ingin tahu keberadaanku,
tepat 5 menit sebelum
air mendidih.
Kembali harus aku
seduh sebuah sedih yang sengaja tidak ku sudahi.
Namun, disisa hari
ini. Tepat lima menit sebelum senja
pergi.
Aku sudah merasakan
kehilangan yang begitu membuatku hampa tanpa cahaya.
Dan, tepat 3 jam setelah hujan reda
Pipiku masih saja basah oleh kecewa yang selama
ini bermuara pada duka sebuah luka yang kesekian kalinya. Meluap, mengalir, dan
berahir pada kisah dengan resah, membasahi bibir dengan senyuman yang patah.
Terima kasih, dariku yang tak pernah kamu tahu
bagaimana akan perasaannya.
Denganmu, kembali ku tersadar, bahwa akan
selalu hadir jutaan tawa berbuah bahagia sebelum satu luka kembali menyapa.