Saturday 16 September 2017

TAK USAH BERTEMU

Dibanding diam ditengah perjalanan , lebih baik kamu cari persinggahan, untuk melarut kebosanan.

                Dalam bisu, dan sembilu. Ku baca kembali setiap pesan via DM dari akun Instagram-mu.
Yang seketika langsung ku baca ketika dering ponselku berbunyi. Serupa tangisan bayi, yang meminta susu sang ibu, kapan pun itu terjadi maka tak pernah terabaikan, apalagi ku tinggalkan.

                Noraknya aku, yang dengan mudahnya tersapu ilusi semu dari orang yang belum tentu bertuju padaku. Setelah lama rasanya, akhirnya aku merasa bahwa bercermin pada luka lama takan pernah menghasilkan bayangan yang sama. Tidak seperti ketika kita bosan tertawa karena lelucon yang diulang ulang, rasa luka tak pernah buat kita bosan, meski pada kesalahan yang sama dan terulang.

                Satu hal yang aku tahu, kau adalah orang yang mungkin selama ini dipersiapkan untuk kembali mengisi tawa, lalu kembali pergi sisakan luka, yang lalu kutuliskan kembali dalam cerita. Tapi maaf, kini yang ku tulis  bukanlah soal perasaan dan rasa amat kasihan yang tanpa bosan bosan ku hikayatkan. Namun semua serupa luka, telah tercipta tanpa konsep yang dapat kita terka Seketika harap tiba tiba  tiada. Karena, dari setiap kata yang kususun dengan duka, hanya kembali berporos pada satu fakta.

                                Dimana kamu adalah luka orang yang akan ku tulis.
                                Dan aku akan tetap jadi kumpulan kata yang takan pernah kau baca.

                Seribu ungkapan penyesalan rasanya tak pantas ku rasakan, mengingat hadirmu disini hanyalah untuk sejenak bersinggah. Sejenak melarut kata bosan pada hubungan yang seharusnya kau pertahankan. Dan disinilah aku tahu ! tak selamanya mereka yang bertahan mampu menahan bosan tanpa persinggahan. Terkadang mereka menyisakan ruang yang gelap dibalik senyum tawa untuk menjaga satu perasaan. Terkadang mereka punya waktu luang yang sempit dibalik gelisah meminta pengertian.

                Namun, saat rasa bosan telah pergi, mereka pun tinggalkan semuanya, dan bergegas tanpa permisi. Seperti sore itu, di tempat kopi, dimana seharusnya bertatap dan bercakap, melarut rasa bosan dalam kehangatan, menikmati aroma senja dalam secangkir kisah yang secara perlahan dapat kurasakan. Namun disana aku hanya bertemu dengan sebuah ketiadaan.

                Semua itu semu, entah mengapa rasanya lebih pahit dari pada secangkir ekspreso yang biasa ku minum. Hadir, tanpa awalan, dan pergi tanpa bayangan. Kursi yang sejak sore itu sengaja ku persiapkan untuk sebuah cerita di cerah senja harus kosong begitu saja.tanpa kepastian untuk kau duduki. Sempat cemas, namun sudalah, aku terlanjur tersadar bahwa kali ini memang kau benar benar hilang dan telah sadar, bahwa itu adalah waktunya untukmu kembali pulang.

                Terlambat sudah untuk aku sadari, bahwa aku sangat hobi mengulang luka, sangat suka mendamba kepadanya yang tak pernah ada. Sangat mudah jiwa ini melarut dalam khayal yang tak sempat ku sandingkan dengan kerasionalan.

                Tapi tak apa,
                Pergilah,
                Kembalilah kepada peluk yang sudah seharusnya hangat mu berada.
                Dekaplah dia seperti aku mendekap dinginnya kehilangan.

                Sudah sepantasnya aku menerima ini, untuk segera terbangun dari mimpi yang terus saja membelenggu disetiap hadirnya kepingan hati yang baru. Sepertimu, datang penuh luka, lalu sekejap canda menjadi obatnya. Lalu pergi lagi dan hadiahkan duka untuk persinggahannya, yang sengaja  dibungkus rapinya sebuah harapan.

                Dan janjiku pada cerita kali ini, aku benar benar takan bersedih, bukan karena keringnya air mataku oleh kisah sebelumnya, namun ku yakin, karena mu, seiring hati ini dipatahkan, maka ia pun akan kembali dikuatkan.

                Tenang sajalah, aku sangat berterima kasih, dengan mu aku belajar banyak tentang apa itu warna pesona sebuah harap. Biarkanlah aku kembali merengkuh nestapa sepi di ramainya kota. Dan jika kamu kembali harus menunggu kereta yang entah kemana akan membawamu, aku akan tetap menjadi kursi di stasiun, menunggumu kembali duduk dan singgah, saat harapmu tak kunjung tiba.

Bandung, 2017

Rizkia m yusuf


Thursday 7 September 2017

RINTIK

Jika kau temui jatuhan air dari langit dikala kau risau, percayalah itu bukan hujan.
melainkan tangisku yang selama ini menahan rindu sepeninggalanmu.

Kadang mereka datang untuk merugi bersama banyaknya angin disuatu hari, menarik  kusamnya bayang memori dalam kepahitan terindah yang kembali menari.

Kadang pula hadir hanya untuk menyapa dan tak selalu terduga, walau banyak yang menerka, menyentuh relung jiwa paling hampa membawa tawa, menyapu seluruh keluh dengan gelisah berbalut duka.

      Seringnya ku benci.
          Hadirnya ku rindu.
          Perginya ku tenang.
          Hilangnya dikenang.

Andai hujan kembali menyapa bersama angin tanpa memori, kembalikan semua rasa, hingga ku berani untuk kembali bermimpiTapi jika hanya untuk merugi, ku mencoba tak berkata, karena tidak ingin ku sakit lagi dengan hujan yang berbeda

Melintasi sepi malam ini membuatku kembali teringat, bahwa dirimu kini sedang menikmati dinginnya deras hujan dengan hangatnya sebuah pelukan, mengkombinasi bersama pekatnya aroma kopi penuh kasih sayang. Juga tak lupa menyelimuti diri dengan selimut yang sengaja kau rajut penuh dengan rasa dan harapan yang baru, setelah bahagia kau lepas dari ku, yang dulu kau anggap sangat membelenggu.

          Lain halnya dengan ku.

Yang masih dilalap sepi, membiru lebam terpukul kesendirian menjalema serupa hujan. Hari ini tak ada gunanya ku meringis, karena memang sudah percuma, setiap tangisan ku hanyalah akan membuat mu semakin merasa nyaman dalam pelukan, dan semakin cepat melupakan

          Lain halnya dengan ku.

Disini berbalut bekunya sebuah arti merindu, meringis pedih membias masa lalu merupa menjadi hipotermia yang dengan dinginnya menusuk saraf kedalam kalbu.
        
          Namun Bagimu.

Yang sudah terbiasa acuhkan setiap nada rindu dari ku, kau anggap semua hal itu hanyalah semu, palsu, dan tak pernah pantas untukmu.
Tak apa bagiku.
Ku harap kau bisa bahagia dengan setiap caramu, sudah kebal rasanya kau acuhkan diriku, dan ku harap ketika nanti hujan kembali. Kau dapat sesekali melepas selimutmu, hanya untuk beranjak keluar, dan temui aku,
Tak usah kau susah mencariku, cukup tatap langit saja di depan rumahmu, karena aku adalah awan yang sejak sore meneteskan air penuh ketulusan, hanya karena ingin kau merasa hangat dan nyaman.

          Inilah dariku,
          
Untukmu yang tak lagi sanggup ku peluk, tak bisa lagi rasanya ku genggam semua rasa rindu ini untukmu, sudah terlalu lama dan jauh berlalu, meruntuhkan setiap segmen harapan yang dulu, masih sangat membekas rasa pelukmu, hangatnya kasih tulusmu beserta senyuman yang membayang , membuatku gila , dimakan rasa yang kini telah tiada.
          
Otakku berirama, khayalku menari, mengajak seluruh sel dalam tubuhku hingga ke nadi. Hingga akhirnya semua jatuh satu persatu, mendomino saat kau tarik sekaligus harapan yang telah kurangkai.

          Itulah untukmu,
          
Sebuah harap yang kau runtuhkan, semua impi yang kau tinggalkan, sejuta pengorbanan yang kau acuhkan, dan cerita bahagia yang pernah membuatmu tertawa lepas walau akhirnya membuatku tewas. Tak ada artinya lagi ku meringis, karena setiap hadir dan sapaku yang kau tepis. Tak ada artinya lagi ku berdiri, karena kini bahu yang pernah menjadi tempatmu berbagi hati, telah rapuh, usang, retak tak ada yang memiliki.
          Namun, perlu kau ketahui,
Kini temanku telah bertambah, bukan hanya dengan cerita lama, dan memori yang kian menyiksa, kini rindu pun telah menjadi teman baru ku, dan sesaat lagi ia ku anggap sebagai sahabat baru, karena, dia telah mengisi seluruh ruang ku denganmu yang dulu pernah menyatu.
          
Lalu, ada yang namanya hujan, dia ini senantiasa embuat gaduh, meriuh diantara kesendirianku, meretas senyap, Berbisik dengan jutaan rintik, dan airnya yang terjatuh dengan gaduh, yang juga mengalir diatas jalanan yang retak selalu saja mengajak beradu dengan tempo dengan air yang terjatuh dengan sejuta peluh, yang juga mengalir di atas kisah yang telah rusak.
          
Hari ini,  aku sedang ingin bertemu dengan meraka, berdiskusi dengan apa  arti sendiri. Dan bersama mereka, kuciptakan aksara yang seharusnya tertuju untuk masa lalu. Dan resmi dihari ini.
          
Saat ku kenalkan mereka kepadamu, kita telah menjadi kesatuan baru, yang akan selalu setia mengisi setiap sela dimana kita pernah bersama, Dan masih disini, aku, bersama rindu dan hujan, akan memperkenalkan diri, sebagai suatu kumpulan kesempurnaan yang ku namai sepi. yang suatu saat, kepada mu akan menyapa dan itu pasti.


Ditulis saat tak ada hujan, tapi ku tetap merindukan sebuah sapaan.

Bandung, 2017
Rizkiamyusuf