Dibanding diam ditengah perjalanan , lebih
baik kamu cari persinggahan, untuk melarut kebosanan.
Dalam bisu, dan sembilu. Ku baca
kembali setiap pesan via DM dari akun Instagram-mu.
Yang seketika
langsung ku baca ketika dering ponselku berbunyi. Serupa tangisan bayi, yang
meminta susu sang ibu, kapan pun itu terjadi maka tak pernah terabaikan,
apalagi ku tinggalkan.
Noraknya aku, yang dengan
mudahnya tersapu ilusi semu dari orang yang belum tentu bertuju padaku. Setelah
lama rasanya, akhirnya aku merasa bahwa bercermin pada luka lama takan pernah
menghasilkan bayangan yang sama. Tidak seperti ketika kita bosan tertawa karena
lelucon yang diulang ulang, rasa luka tak pernah buat kita bosan, meski pada
kesalahan yang sama dan terulang.
Satu hal yang aku tahu, kau
adalah orang yang mungkin selama ini dipersiapkan untuk kembali mengisi tawa,
lalu kembali pergi sisakan luka, yang lalu kutuliskan kembali dalam cerita. Tapi
maaf, kini yang ku tulis bukanlah soal
perasaan dan rasa amat kasihan yang tanpa bosan bosan ku hikayatkan. Namun
semua serupa luka, telah tercipta tanpa konsep yang dapat kita terka Seketika
harap tiba tiba tiada. Karena, dari
setiap kata yang kususun dengan duka, hanya kembali berporos pada satu fakta.
Dimana kamu adalah
luka orang yang akan ku tulis.
Dan
aku akan tetap jadi kumpulan kata yang takan pernah kau baca.
Seribu ungkapan penyesalan
rasanya tak pantas ku rasakan, mengingat hadirmu disini hanyalah untuk sejenak
bersinggah. Sejenak melarut kata bosan pada hubungan yang seharusnya kau
pertahankan. Dan disinilah aku tahu ! tak selamanya mereka yang bertahan mampu
menahan bosan tanpa persinggahan. Terkadang mereka menyisakan ruang yang gelap
dibalik senyum tawa untuk menjaga satu perasaan. Terkadang mereka punya waktu
luang yang sempit dibalik gelisah meminta pengertian.
Namun, saat rasa bosan telah
pergi, mereka pun tinggalkan semuanya, dan bergegas tanpa permisi. Seperti sore
itu, di tempat kopi, dimana seharusnya bertatap dan bercakap, melarut rasa
bosan dalam kehangatan, menikmati aroma senja dalam secangkir kisah yang secara
perlahan dapat kurasakan. Namun disana aku hanya bertemu dengan sebuah
ketiadaan.
Semua itu semu, entah mengapa
rasanya lebih pahit dari pada secangkir ekspreso yang biasa ku minum. Hadir,
tanpa awalan, dan pergi tanpa bayangan. Kursi yang sejak sore itu sengaja ku
persiapkan untuk sebuah cerita di cerah senja harus kosong begitu saja.tanpa
kepastian untuk kau duduki. Sempat cemas, namun sudalah, aku terlanjur tersadar
bahwa kali ini memang kau benar benar hilang dan telah sadar, bahwa itu adalah
waktunya untukmu kembali pulang.
Terlambat sudah untuk aku
sadari, bahwa aku sangat hobi mengulang luka, sangat suka mendamba kepadanya
yang tak pernah ada. Sangat mudah jiwa ini melarut dalam khayal yang tak sempat
ku sandingkan dengan kerasionalan.
Tapi tak apa,
Pergilah,
Kembalilah kepada peluk yang
sudah seharusnya hangat mu berada.
Dekaplah dia seperti aku
mendekap dinginnya kehilangan.
Sudah sepantasnya aku menerima
ini, untuk segera terbangun dari mimpi yang terus saja membelenggu disetiap
hadirnya kepingan hati yang baru. Sepertimu, datang penuh luka, lalu sekejap
canda menjadi obatnya. Lalu pergi lagi dan hadiahkan duka untuk
persinggahannya, yang sengaja dibungkus
rapinya sebuah harapan.
Dan janjiku pada cerita kali
ini, aku benar benar takan bersedih, bukan karena keringnya air mataku oleh
kisah sebelumnya, namun ku yakin, karena mu, seiring hati ini dipatahkan, maka
ia pun akan kembali dikuatkan.
Tenang sajalah, aku sangat
berterima kasih, dengan mu aku belajar banyak tentang apa itu warna pesona
sebuah harap. Biarkanlah aku kembali merengkuh nestapa sepi di ramainya kota. Dan
jika kamu kembali harus menunggu kereta yang entah kemana akan membawamu, aku
akan tetap menjadi kursi di stasiun, menunggumu kembali duduk dan singgah, saat
harapmu tak kunjung tiba.
Bandung, 2017
Rizkia m yusuf