Friday 8 May 2020

Perasa.



"Tuhan bilang manusia itu sempurna, tapi kita senang berlagak cacat."

Secuek dan bodo amatnya manusia, lambat laun mereka akan menyadari bahwa mereka pun adalah makhluk perasa. Dipermainkan mimpi-mimpi dari pagi ke malam hari, dibangunkan harapan selepas jatuh berkali-kali, juga diwarnai tawa pun air mata, baik dengan atau tanpa siapa-siapa. Kita semua perasa.


Herannya, masih banyak di antara mereka sendiri yang menyamaratakan tujuan hidup seseorang dengan dirinya dan juga banyak lainnya, seakan-akan kehidupan ini adalah perlombaan dengan lintasan pacu yang sama. Seperti halnya telinga kita yang kerap kali terisi tanya tentang, “Kuliah dimana?”, “Udah lulus?”, “Kerja dimana?”, “Kapan nikah?”, “kapan punya momongan?”, dan hal-hal tai anjing lainnya.


Bukankah mereka tahu, bahwa tak semua bisa merasa mudah untuk meraih bangku sekolah?
Bukankah mereka paham, jika setiap kelulusan tak pernah membawa jaminan?
Bukankah mereka mengerti, bagaimana sesaknya lapangan pekerjaan?
Bukankah mereka mengalami, sejatinya cinta dan pernikahan perlu kehati-hatian?
Bukankah mereka kewalahan, kala telat menyadari bahwa materi dan upaya tak kan pernah cukup untuk dapat berketurunan?


Mereka tahu betul, bahwa hanya pada genggaman Tuhanlah segala kuasa tercipta, namun mereka sendiri pula yang mengingkari imannya dengan menciptakan start dan finish kehidupan. Baiklah, mungkin mereka hanya bertanya, tapi mereka lupa bahwa kita semua perasa (termasuk dirinya). Lebih dari sekedar terlahir kemudian tumbuh, hidup tak melulu seputar sekolah, bekerja dan menikah, melainkan berproses. Percayalah, Tuhan tak semena-mena menciptakan manusia dengan kehidupannya di dunia, semua penuh tujuan dan sangat rahasia –bahkan malaikat pun bertanya-tanya.


Bersantailah, jalan bersama-sama lebih baik karena hidup bukan lomba balap karung tujuhbelasan. Nikmati segala hal yang terjadi, menerima semua hal yang diterima, banyak memberi dan bersyukur. Kurangi menciptakan tanya yang sejatinya hanya melahirkan sakit di benak orang lain, perbanyak mendo’akan, saling menguatkan. Jangan merasa lebih baik dari yang lain, karena semua pun sama; sebatas daging dan tulang yang berdo’a.
Kita semua perasa.