"Tuhan bilang manusia itu sempurna, tapi kita senang berlagak
cacat."
Secuek dan bodo amatnya manusia, lambat laun mereka akan
menyadari bahwa mereka pun adalah makhluk perasa. Dipermainkan mimpi-mimpi dari
pagi ke malam hari, dibangunkan harapan selepas jatuh berkali-kali, juga diwarnai
tawa pun air mata, baik dengan atau tanpa siapa-siapa. Kita semua perasa.
Herannya, masih banyak di antara mereka sendiri yang
menyamaratakan tujuan hidup seseorang dengan dirinya dan juga banyak lainnya,
seakan-akan kehidupan ini adalah perlombaan dengan lintasan pacu yang sama. Seperti
halnya telinga kita yang kerap kali terisi tanya tentang, “Kuliah dimana?”, “Udah
lulus?”, “Kerja dimana?”, “Kapan nikah?”, “kapan punya momongan?”, dan hal-hal
tai anjing lainnya.
Bukankah
mereka tahu, bahwa tak semua bisa merasa mudah untuk meraih bangku sekolah?
Bukankah
mereka paham, jika setiap kelulusan tak pernah membawa jaminan?
Bukankah
mereka mengerti, bagaimana sesaknya lapangan pekerjaan?
Bukankah
mereka mengalami, sejatinya cinta dan pernikahan perlu kehati-hatian?
Bukankah mereka kewalahan, kala telat menyadari bahwa materi
dan upaya tak kan pernah cukup untuk dapat berketurunan?
Mereka tahu betul, bahwa hanya pada genggaman Tuhanlah
segala kuasa tercipta, namun mereka sendiri pula yang mengingkari imannya
dengan menciptakan start dan finish kehidupan. Baiklah, mungkin mereka hanya
bertanya, tapi mereka lupa bahwa kita semua perasa (termasuk dirinya). Lebih
dari sekedar terlahir kemudian tumbuh, hidup tak melulu seputar sekolah,
bekerja dan menikah, melainkan berproses. Percayalah, Tuhan tak semena-mena menciptakan manusia dengan
kehidupannya di dunia, semua penuh tujuan dan sangat rahasia –bahkan malaikat pun
bertanya-tanya.
Bersantailah, jalan bersama-sama lebih baik karena hidup
bukan lomba balap karung tujuhbelasan. Nikmati segala hal yang terjadi,
menerima semua hal yang diterima, banyak memberi dan bersyukur. Kurangi menciptakan
tanya yang sejatinya hanya melahirkan sakit di benak orang lain, perbanyak mendo’akan,
saling menguatkan. Jangan merasa lebih baik dari yang lain, karena semua pun
sama; sebatas daging dan tulang yang berdo’a.
Kita semua perasa.