Sunday 2 April 2023

Badai yang kau tinggalkan

Embun pagi yang kau ceritakan dengan tenang cukup membuatku sesak pagi ini.

Baru aku tahu, bahwa pada akhirnya keterasingan bisa tercipta dari tempat yang paling aku kenali.

 

Mungkin benar,

kau tak pernah mengenalku, bahkan sejak awal menerima hadirku.

Maka dengan tulisan yang ku upayakan singkat ini, perkenankanlah aku untuk kembali memperkenalkan diri.

 

Wahai nona,

perkenalkan.

 

Akulah hujan yang wanginya sempat kau rindukan,

yang kerap kau ajak bermain kala gerimis namun kau tinggalkan kala aku telah merupa badai.

 

Akulah lautan yang derunya selalu kau nikmati pada ombak di tepian pantai,

namun tak pernah kau coba untuk menyelaminya.

 

Akulah setitik api kecil yang kau nyalakan dengan penuh penerimaan, 

lentera yang sempat kau jaga dalam gelap namun kau padamkan kala aku berkobar.

 

Akulah bantal yang tak kau bereskan, pahit dalam secangkir kopi yang kau seduh,

dan ledak tangis pada setiap buncah tawa yang kita ciptakan.

 

Akulah sepenuhnya kata-kata yang tak pernah kau selesaikan,

yang dengan lancangnya kemudian kau tinggal pergi dan tanpa peduli mengharapkan pihak lain untuk menulis seperti apa nanti akhirnya.

 

Mungkin, tak ada lagi rasanya yang harus kau tahu tentangku.

Rasanya aku tak mau lagi merepotkanmu untuk mengenalku dan tak perlu lagi ada perdebatan diantaranya. 197 notifikasi yang tak kuhitung kurasa terlampau cukup untuk menjadi saksi terakhir bagaimana kau tak pernah ingin mengenaliku.

 

Maaf bila aku tak pernah bisa menjadi seluas langit yang kau harapkan.

Sekian, kau dan aku.

Selamat jalan, awan.


dari aku sebagai langit, yang pernah pura-pura kau singgahi.


***

Tulisan ini merupakan balasan kecil nan payah,

dari tulisan hebat "Tidak, Ini Pagi yang Sama Sekali Tidak Tenang"

karya Nawang Nidlo Titisari