Unggahlah sepuasnya, bunuhlah semaunya, jangan
kembali bila air mata menyapamu lagi.
Sepertimu, menyematkan bahagia pada
lini masa di sosial media, takan pernah sepadan dengannya yang membilas luka -
luka sendirian. Ia yang sangat faham arti memiliki, terlanjur begitu dalam untuk
mengarungi tingginya impi yang ada padamu. Sayangnya, seringkali kamu tak
pernah mau memesan apa yang bisa ia sediakan. Ia yang dirasuki besarnya
perasaan, namun kamu anggap suatu hal pembodohan.
Ia
yang selalu salah untuk keseriusan sebuah rasa, bersama secangkir kopi yang
kamu balas maaf, sebab kamu tak bisa berteman dengan pahit. Ia yang selalu
mengaduk senyummu, merangkum sedihmu menjadi manis di setiap tegukan, yang tak
lama darinya, kamu lebih rindukan sebuah hangat yang kamu anggap lebih pasti.
Lalu ia datang kembali, bersama sepiring sapaan hangat di setiap malam juga
pagi, meski setelahnya kembali pergi, dan tak semua darinya kamu cicipi. Ia
yang terus datang, berusaha mempertujukan tentang apa yang bisa kamu pesan dari
besarnya perasaan. Namun memang, kamu lebih suka memesan ganggaman lain, yang
hangat dan lebih manis, namun begitu pahit untuk sebelah pihak.
Ia
yang terlalu percaya tak ada cinta yang bertepuk sebelah tangan, secara tak
sadar telah mengukir tombak untukmu menikam jantungnya sendirian. Ia yang meronta kala kamu nyenyak, sebab
ribuan sapa, seru dan tawa hanya mengalir kembali pada telinganyanya, begitu
dingin tanpa hangatnya balasan.
Lama
– lama dirasa, kamu pun melihat ia terlelap di antara deru riang jangkrik yang
sibuk mengukir malam. Hingga nyatanya, tanpa kamu sadar,ia yang telah terlelap
penuh kerelaan dengan tega kembali kamu bangunkan oleh setes air mata dari
entah siapa. Ia yang lelah disekap rindu tak tentu, tak pernah ada kecewa untuk
menantikanmu. Namun jangan menganggap bila menanti sesuatu yang berpaling akan
menjadi mudah. Dapatkan kamu ungkapkan sebuah persaan saat senyuman yang
seringkali mengisi bayangan di kornea, seketika kosong tak berisi dan hilang ?
kurasa itu akan cukup sulit.
Semudah
mengunggah mesra, sembari menikam yang benar – benar berusaha, jika bagimu tak
sulit untuk pergi, maka pergilah, bunuh, dan tinggalkan. Jangan kembali ketika
ia sedang mengubur rasanya dalam – dalam, karena takan mudah bangkitkan kembali
rasa yang telah mati.
Jika
Ia yang pandai merindu memang sering buatmu menatapnya penuh bosan di setiap
waktu, sudahlah tinggalkan, lalu buatnya hilang di dalam fantasinya yang
melayang.karena rasa sangat sederhana baginya, jika tanpa air mata yang kembali
mudik setelah rasa sepenuhnya mati. Ia tak penah ingin menjadi bising kala kamu
terlelap, begitupun menjalema kecewa pada setiap tawamu yang tercipta, walau
tanpanya.
Bandung, 030518
Rizkia M Yusuf