Monday 26 November 2018

TETAP CERAH



Mendung.
Tapi Aku melihat cerah di matamu, sembunyi di balik sayu teduh dan dingin pelupuk mata mu.
Maaf bila aku betah menetap untuk menatapmu.

Sebenarnya aku juga malu, karena kerap kali ku tatap terlalu dalam, lalu seketika kamu menengok saat aku masih terjebak disana. Jangan tanya kenapa dan mengapa. Sadarilah , meski Mata mu terlalu curam untuk diselami, bagiku itu menjadi  terlalu indah untuk diacuhkan sendiri. Mata mu masih menjadi pertanyaan paling menarik tanpa harus ku jawab, juga menjadi teka – teki paling asik untuk aku tebak-tebak sendiri.
Pada dasarnya kamu memang menarik, tapi maaf, bukan itu saja aku temukan. Saat ini aku juga mulai menyadari, bahwa Senyuman mu juga menjadi pengantar tidur paling nyaman, menari dalam bayang setiap malam, sebagai penutup doa dari lelah seharian.
Baiklah memang  itu hanya bayanganku saja, sehingga seolah-olah semua terlihat indah, tapi bagaimana bila itu memang terjadi ? bisakah kamu bayangkan ?  sudah kamu tebak bagaimana jadinya bila senyum mu benar-benar berada disini ? Ah sudahlah, lucu memang bila bergumam sendiri, berbicara bersama mimpi-mimpi sendiri. Padahal realitanya diluar sana mendung masih menunggu hujannya turun.
 Aku yakin, selebat apapun hujan nanti, mata dan senyummu masih bertahan cerah.
 Jikapun tidak,
Aku akan jadi yang pertama untuk menyelamatkannya.



Rizkia,261118

Tuesday 13 November 2018

YANG TAK DISANGKA




Denganmu, Aku adalah sebuah layu yang belum temukan mekarnya, yang gugur sebelum tumbuh, yang hilang sebelum kau undang, dan rasa yang mati sebelum sempat kau hidupkan.


Berusaha untuk kau anggap setia, dengan rela terluka. Padahal aku ini apa?
Sempat senang dan berharap saat Kau sediakan ruang di dalam sana. Padahal Aku ini siapa?

Maafkan aku bila selama ini menerjemahkan hadirmu sebagai sebuah jalan kala ku tersesat, Aku memang terlalu mudah untuk lahirkan harap, menelusup, menyelam, begitu dalam, hingga akhirnya aku kembali sesak dan tenggelam.

Aku hanyalah kemungkinan kecil yang tidak kau yakinkan, seolah menemukan jalan namun akhirnya kembali tersesat.

Sering juga Aku menghindar dari ini, namun kau begitu mudah hidup dan mengalir di nadi, melayang-layang sebelum mata terpejam, mengerak pekat di ruang terdalam.
Aku juga sering takut, akan hadirku yang membuat kau merasa aman untuk menjauh saja.
Disana, kerap juga kau pamerkan bahagia di tempat yang kau anggap rumah itu, aku cemburu.
Aku memang tak patut memiliki rasa ini, untuk kau, yang “katanya” dimiliki.
Namun, biarlah kali ini aku merasa pantas terluka. Oleh rasa yang mungkin tak pernah disangka.

Pernah juga berpikir untuk menghilang, menghentikan langkah, namun tidak mundur .
Hingga suatu saat kau butuhkan, aku siap kembali melangkah, selangkah, selangkah, hingga kesadaranmu merekah dengan sendirinya.

Suatu saat kau akan tahu, mana yang kau kira rumah, mana yang kau anggap Pulang.
Maka berbahagialah disana,
Aku tetap disini,
di kejauhan yang tak terlihat, namun tetap mudah kau temui.


Rizkia, 141118

Friday 4 May 2018

RUANG KEMBALI




Unggahlah sepuasnya, bunuhlah semaunya, jangan kembali bila air mata menyapamu lagi.

                Sepertimu, menyematkan bahagia pada lini masa di sosial media, takan pernah sepadan dengannya yang membilas luka - luka sendirian. Ia yang sangat faham arti memiliki, terlanjur begitu dalam untuk mengarungi tingginya impi yang ada padamu. Sayangnya, seringkali kamu tak pernah mau memesan apa yang bisa ia sediakan. Ia yang dirasuki besarnya perasaan, namun kamu anggap suatu hal pembodohan.

                Ia yang selalu salah untuk keseriusan sebuah rasa, bersama secangkir kopi yang kamu balas maaf, sebab kamu tak bisa berteman dengan pahit. Ia yang selalu mengaduk senyummu, merangkum sedihmu menjadi manis di setiap tegukan, yang tak lama darinya, kamu lebih rindukan sebuah hangat yang kamu anggap lebih pasti. Lalu ia datang kembali, bersama sepiring sapaan hangat di setiap malam juga pagi, meski setelahnya kembali pergi, dan tak semua darinya kamu cicipi. Ia yang terus datang, berusaha mempertujukan tentang apa yang bisa kamu pesan dari besarnya perasaan. Namun memang, kamu lebih suka memesan ganggaman lain, yang hangat dan lebih manis, namun begitu pahit untuk sebelah pihak.

                Ia yang terlalu percaya tak ada cinta yang bertepuk sebelah tangan, secara tak sadar telah mengukir tombak untukmu menikam jantungnya sendirian.  Ia yang meronta kala kamu nyenyak, sebab ribuan sapa, seru dan tawa hanya mengalir kembali pada telinganyanya, begitu dingin tanpa hangatnya balasan.

                Lama – lama dirasa, kamu pun melihat ia terlelap di antara deru riang jangkrik yang sibuk mengukir malam. Hingga nyatanya, tanpa kamu sadar,ia yang telah terlelap penuh kerelaan dengan tega kembali kamu bangunkan oleh setes air mata dari entah siapa. Ia yang lelah disekap rindu tak tentu, tak pernah ada kecewa untuk menantikanmu. Namun jangan menganggap bila menanti sesuatu yang berpaling akan menjadi mudah. Dapatkan kamu ungkapkan sebuah persaan saat senyuman yang seringkali mengisi bayangan di kornea, seketika kosong tak berisi dan hilang ? kurasa itu akan cukup sulit.

                Semudah mengunggah mesra, sembari menikam yang benar – benar berusaha, jika bagimu tak sulit untuk pergi, maka pergilah, bunuh, dan tinggalkan. Jangan kembali ketika ia sedang mengubur rasanya dalam – dalam, karena takan mudah bangkitkan kembali rasa yang telah mati.

                Jika Ia yang pandai merindu memang sering buatmu menatapnya penuh bosan di setiap waktu, sudahlah tinggalkan, lalu buatnya hilang di dalam fantasinya yang melayang.karena rasa sangat sederhana baginya, jika tanpa air mata yang kembali mudik setelah rasa sepenuhnya mati. Ia tak penah ingin menjadi bising kala kamu terlelap, begitupun menjalema kecewa pada setiap tawamu yang tercipta, walau tanpanya.

Bandung, 030518
Rizkia M Yusuf
               

Wednesday 14 March 2018

SEPASANG IRONI


Raut senang sungkan tersenyum, jadikan angkasa lebih memerah saat lelah banyak tergambar dari hiruk pikuk jalan raya yang mulai tergesa-gesa. Matamu terpejam kala dingin mulai meraba pada senja yang tak lagi hangat. Masih saja ku ingat saat kita bersama, belajar di tempat yang sama, menyusur jalan yang sama, merangkul melawan dinginnya sore, meretas ragu walau tak bertuju, jadikan kita sepasang jumpa yang kini sama-sama hilang.
Setiap sore, obrolan semakin diobral habis, segala hal yang tak perlu seakan penting diungkap, apalagi hal-hal yang pernah kita anggap penting. Walau masih berseragam, perbincangan kita telah banyak beragam, mulai dari sebuah tanya cerita, ajakan jalan, obrolan picisan, hingga jadwal kangen-kangenan seakan menjadi fenomena tanpa kesudahan. Candaan garing selalu menjadi pamungkas andalan untuk tumbuhkan sedikit senyum di depan gerbang rumahmu, yang kemudian muncul lah celetukan menyindir darimu yang bermetamorfosa menjadi ungkapan sayang paling sederhana. Setidaknya dari itu aku bisa membuatmu sedikit senang, walau akhirnya sama-sama pergi tanpa tenang.
Entah apa pikirku untuk bisa bersama mu, untuk harus menjagamu, walau nyatanya kamu tak pernah meminta itu. Aku yang sering berusaha menjadi nomor satu, walau sering kali tersedak perih sendiri karena ingin menjadi prioritas namun tak sanggup kau balas. Hingga semua terus terjadi, berulang dan berulang. Disitulah rasa sakit dariku bertemu dengan rasa muak darimu, jadikan kita sepasang yang mengingatkan, untuk saling lupakan.
Sederhana saja, takan pernah ada hujan yang tidak meninggalkan bekas, sekecil apapun ia turun jalanan akan tetap terlihat basah, yang setelahnya akan menjadi pilihan kita untuk menikmati atau menyesali. Dan maafkan aku bila pernah begitu deras mencintaimu, ciptakan genangan dari sejuta kenangan yang kini tak kunjung surut. Dulu, aku begitu ingin mencintaimu dengan sederhana, namun begitu aku mencoba, baru aku sadar belakangan, bahwa cinta paling sederhana ialah cinta paling rumit adanya, jadikan kita sepang kerinduan yang tak berharap adanya pertemuan.

14/03/18
Rizkia M Yusuf