Senja
terakhir di satu sore itu telah digantikan malamnya. Aku yang selalu suka
bercerita dan mengukir tawa, harus tenggelam dalam keramaian dan kebisuan
setelah ia memilih untuk menghindari pertemuan. Lalu lalang keramaian semakin
memuncak di hari terakhir tahun itu, berlomba lomba menutup tahun dengan
kebersamaan, bergandengan merayakan yang tak bisa ku rasakan, melawan dingin
angin malam, di atas bukit merangkai kemesraan saat ia telah memilih untuk
menikam kaku tubuh ini dengan pertemuan yang lebih ia inginkan.
Membahas
sebuah arti perayaan, aku tak begitu nafsu dengan apa yang orang-orang lakukan
di kota malam itu, namun, wajarkah jika saja sekeping hati ini memilih untuk
ciptakan harap bersama dengan yang semestinya ada, menutup hari dengan setelah
lelah bersama, dan menyimpan malam sebagai kenang yang akan menuntun rasa rindu
untuk kembali pulang ? Entah , aku tak pernah tahu tentang benar atau salahnya
setiap bait yang ku dekap. Yang pasti, aku berada diantara hingar – bingar para
pecandu keramaian, menjadi seongok hati yang ia miliki namun tak pernah ia
genggam, dibiarkan linglung, sepi dan menghilang diantara ramainya malam
pergantian tahun.
Sudah
jelas adanya, tapi hati tak pernah mau mengakuinya. Selalu saja keras kepala
berusaha selalu ada meski tak sedikitpun ia mengharapkannya. Menolak tuk
mengakui bahwa aku telah patah, hati ini tak berfikir tentang kapan ia akan
dipadamkan dan hilang dari sebuah pengakuan. Harum aroma pembakaran tak ku
hirup, saat janji kian membusuk.
Udara
semakin dingin, namun harap telah lama membeku, aku yang masih saja berharap dengan
sebuah kehadirannya maka semua akan melebur. Tapi nyatanya setiap hangat dan
tawa dari keramaian justru membius kata pada puncak hipotermia. Harap ini kaku
dan mati setelah menyadari ada tawanya diantara keramaian bersama seorang,
dimana pertemuannya tak sama sekali ia rencanakan . ledakan kembang api pun menerangi
langit yang kokoh saling berbalas seiring dengan rentetan sayat yang menghantam
ruang harap yang seketika runtuh olehnya. Jatuh mendomino, retak sudah genggaman
yang selama ini dipertahankan, bibir membisu dan kaki pun tak sanggup melangkah
lebih jauh, hingga akhirnya terbakar sudah semua yang beku, saat semua orang
saling memeluk, ku lihat dekapnya semakin erat dan nyatanya, harap ku telah ia
hempaskan, sebagai kisah yang kini tergantikan, tanpa ucapan.
***
Lalu,
Seiring
terbakarnya diantara pelukan, aku menjalema kembang api yang ia lontarkan, siap
sajikan indah meski hancur terbakar, lalu menghilang di antara selimut malam.
Rizkia, 01/01/18