Sunday 31 December 2017

JENDELA


        Menunggu hingga senja kembali turun di muka jendela, seiring terbentur luka Ia menumpu pada kursi roda dan bertanya tentang mengapa rindu itu menyulitkan?

          Titik air sisa hujan memantulkan cahaya pada ranting ranting yang ditiup angin, mereka berhembus meski tak pernah membawa kabar tentang gelisahnya. Sebelum selimut malam mengakhiri senja, ribuan kata maaf terus membeku pada cerita yang lama tenggelam, tertelan masa suram. Bersama masa lalu ia pecandu rindu yang sayangnya terbelenggu, tak pernah tahu, mengancam sebuah temu. Ia juga pencinta yang nyatanya buta karena merasa yang ia terima tak pernah sama.

      Saat kepergian menunjukan wujudnya untuk dicicipi bersama kopi di satu senja. janganlah lagi rasanya harus membenci semesta. Faktanya, rasa bukan sekedar selalu ada dan apa adanya, lebih dari mengerti dan mau dimengerti, semua hanya tentang mencintai seadanya, dan merindu sewajarnya.

Rizkia, 29.12.17

AKU BUKANLAH PERTEMUAN YANG KAU INGINKAN



                Senja terakhir di satu sore itu telah digantikan malamnya. Aku yang selalu suka bercerita dan mengukir tawa, harus tenggelam dalam keramaian dan kebisuan setelah ia memilih untuk menghindari pertemuan. Lalu lalang keramaian semakin memuncak di hari terakhir tahun itu, berlomba lomba menutup tahun dengan kebersamaan, bergandengan merayakan yang tak bisa ku rasakan, melawan dingin angin malam, di atas bukit merangkai kemesraan saat ia telah memilih untuk menikam kaku tubuh ini dengan pertemuan yang lebih ia inginkan.

                Membahas sebuah arti perayaan, aku tak begitu nafsu dengan apa yang orang-orang lakukan di kota malam itu, namun, wajarkah jika saja sekeping hati ini memilih untuk ciptakan harap bersama dengan yang semestinya ada, menutup hari dengan setelah lelah bersama, dan menyimpan malam sebagai kenang yang akan menuntun rasa rindu untuk kembali pulang ? Entah , aku tak pernah tahu tentang benar atau salahnya setiap bait yang ku dekap. Yang pasti, aku berada diantara hingar – bingar para pecandu keramaian, menjadi seongok hati yang ia miliki namun tak pernah ia genggam, dibiarkan linglung, sepi dan menghilang diantara ramainya malam pergantian tahun.

                Sudah jelas adanya, tapi hati tak pernah mau mengakuinya. Selalu saja keras kepala berusaha selalu ada meski tak sedikitpun ia mengharapkannya. Menolak tuk mengakui bahwa aku telah patah, hati ini tak berfikir tentang kapan ia akan dipadamkan dan hilang dari sebuah pengakuan. Harum aroma pembakaran tak ku hirup, saat janji kian membusuk.

                Udara semakin dingin, namun harap telah lama membeku, aku yang masih saja berharap dengan sebuah kehadirannya maka semua akan melebur. Tapi nyatanya setiap hangat dan tawa dari keramaian justru membius kata pada puncak hipotermia. Harap ini kaku dan mati setelah menyadari ada tawanya diantara keramaian bersama seorang, dimana pertemuannya tak sama sekali ia rencanakan . ledakan kembang api pun menerangi langit yang kokoh saling berbalas seiring dengan rentetan sayat yang menghantam ruang harap yang seketika runtuh olehnya. Jatuh mendomino, retak sudah genggaman yang selama ini dipertahankan, bibir membisu dan kaki pun tak sanggup melangkah lebih jauh, hingga akhirnya terbakar sudah semua yang beku, saat semua orang saling memeluk, ku lihat dekapnya semakin erat dan nyatanya, harap ku telah ia hempaskan, sebagai kisah yang kini tergantikan, tanpa ucapan.

***


Lalu,

                Seiring terbakarnya diantara pelukan, aku menjalema kembang api yang ia lontarkan, siap sajikan indah meski hancur terbakar, lalu menghilang di antara selimut malam.



Rizkia, 01/01/18

Friday 22 December 2017

BERDAMAI DENGAN SENJA

Bila kamu sedang duduk sendiri di sebuah cafe, ditemani kopi dan cerah senja di ujung sebuah sore, apakah saat itu kamu pernah mengingat tentang seharusnya dengan siapa kamu harus berada disana?

Disanalah aku. Seorang yang tak lagi bisa mengenal dirinya, seorang yang tidak lagi temukan alasan berpergian, bersama bibir yang tak lagi tau apa arti sebuah senyuman. Dekat tembok samping barista, aku coba sajikan setiap waktu, untuk menghindar dari luangnya hari. Karena setiap yang berpatah hati tau, dengan menyibukan diri ia akan mudah menyelaraskan setiap fungsi otak selain mengingat kepergian.

Kamu, mungkin pernah duduk sendirian, namun tak semua orang tau seperti apa pahitnya kehilangan. Dan disore itu aku yakin, takan pernah ada kesibukan yang dapat menyembuhkan setiap sayatan yang dibuat dengan kesengajaan. Pahitnya kopi yang aku rasa di café ini, takan pernah mampu mengalahkan pahitnya kecurangan yang pernah ia lakukan. Dan jika saja ada menu terpahit di café ini, mungkin itu takan pernah menjadi sebuah hal yang harus membekas.

Sekeliling sangat ramai, saat hatiku masih saja sulit untuk berdamai. Sekeliling terasa sangat asyik disaat semua rasa yang teringat terasa semakin tengik. Entah apa yang membuat aku menjadi semakin gusar, padahal semua berjalan cukup normal.

Andaikan ada, sebuah alasan tentang kenapa ia pergi, aku yakin senja di hari ini takan terasa sangat indah ketika ia meninggalkan cahayanya. Karena bagiku, di anding dirinya, cerah senja sangat tahu tentang bagaimana cara melepas dirinya untuk pergi di satu hari.

          
 Rizkia M Yusuf, 18/11/17

DIORAMA MENTARI

Siangnya, ku terlamun dalam khayal yang begitu dalam diantara semua orang yang sedang  ditekan padatnya hari, disulut panasnya mentari,  dan saat semua tertahan dalam sibuknya, aku merasa seakan kesendirian ini takan pernah menjadi basi, akan selalu saja tetap beggini dan begini, awet tak berkesudahan saat tak tau lagi apa itu harapan. Tak dapat ku pungkiri, setelah kamu benar benar memutuskan untuk pergi, aku tak pernah tau apa lagi yang harus ku cari.

Dulu, saat kesetiaan masih ku percayai, kamulah yang selalu aku nanti, tak peduli siang terik mentari menggerogoti pundak yang selalu kamu cari. Disitulah aku dengan ketangguhanku padamu. Namun, aku tak pernah mengerti, mangapa bisa aku sekuat itu saat aku menunggu mu, meski raga telah tertelan rentetan luka yang dlam, meski hati ini telah tenggelam oleh air mata yang tak pernah kau jumpai. Akulah orang tersukses yang mampu bertahan dalam hubungan.

Namun, saat semua kini hilang, aku hanyalah sendiri, seperti superhero yang kehilangan kekuatan supernya, aku sudah tak pernah lagi kau cari, aku bukanlah siapa siapa lagi kini. dalam khayalnya yang kini ia sadari, bahwa ia kini telah rapuh untuk selamanya. Takan pernah ada lagi aku  singgah dalam hati yang tak bisa memberi pasti kapan ia akan pergi. Tak mau lagi aku menjumpai pintu untuk aku ketuk, karena aku tak pernah tau apa yang aku dapat didalamnya.

...

Namun. Terimakasih aku ucapkan padamu yang telah mampu tunjukan betapa kuatnya aku dalam pendambaan yang tak pernah kau balaskan. Dengan mu aku tau, sekuat apapun diriku, akan selalu ada kehilangan yang menjemput semua kekuatan. Dan lalu, perihal menunggu. Denganmu aku tau, bahwa seberat apapun proses yang telah ku lakukan dlam penantian, takan mampu bukakan kenyataan di ujung jalan.


RizkiaMYusuf , 17/11/17

AROMA PAGI


Dingin udara yang menusuk sukmaku pagi itu, berhasil membuat raga kembali terbangun dari hamparan ladang sejuta impi tak terukur. Bosan memang rasanya mencium aroma pagi tanpa sapamu lagi, membuka  mata tanpa nyala ponselku lagi. Hingga setelahnya kembali lagi dan lagi ku seduh secangkir kopi, sebagai pelarai aroma pagi atas hati yang tak pernah bisa berdamai, atas hilangmu saat langkahku yang kian gontai.
Serupa kopi pagi ini, semoga pahit akan cepat menguap menjadi kepulan di udara yang selanjutnya ku hirup sebelum semuanya menghilang. Dengan begitulah aku ingin kamu tahu, betapa sederhananya saat aku menikmati luka di pagi yang ku rasa hampa.
Hingga cangkir pun telah sisakan pahitnya hampas, ia bercerita bahwa selalu ada hangat yang akan mengunjungi pagi mu sebelum pahit menyentuh bibir yang selalu terasa manis saat mengucap rindu di setiap senjanya.
Hangat surya terus mendesak raga untuk tak lagi berpijak, namun hati terus saja mengajak k uterus berdebat, tentang mengapa bisa sebuah rasa tiba – tiba hilang padahal tak ada badai yang membentang. Hingga otak akhirnya bertindak, ia mencoba untuk berdialog dengan setiap rasa yang ia punya, sembari berkata ia pun menutup kegelisahan yang hati rasakan , “Akan datang sebuah alasan kepergian, disaat satu perpisahan berada diujung kenangan.”

Rizkia M Yusuf, 12-11-17