Sunday 17 March 2024

Karam


Aku sekalipun tak pernah memutuskan untuk hadir, apalagi sampai sejauh ini menemanimu. Jauh sebelum kau ada untuk membereskan semuanya pun aku telah terlatih dengan sepi, berjalan kemanapun tanpa ada rasa cemas dan khawatir seperti saat ini –padamu.

Justru kau lah yang terbang bersama seribu kecemasanmu, kemudian memilih hinggap dan bersarang sekejap di telinga, jemari, pipi, dan mataku. Merapikan dan memberikan jahitan rapi pada setiap luka, tanpa aku minta. Saat itu kau hadir dengan penuh penerimaan tanpa jeda yang belum pernah sama sekali aku rasakan. Kau yang butuh sembuh namun aku yang kau pulihkan.

Sejak hari itulah, aku terus memikirkanmu. Setiap malamku dipenuhi pertimbangan baru yang belum pernah sama sekali aku pikirkan; tentang keseriusan, komitmen, dan Keputusan-keputusan besar yang nyaris saja ku layangkan tanpa perhitungan panjang. Sejauh itu, aku.

Andai kau tau, hingga saat ini, masih terdengar jelas saat pita suaramu melirih pedih karena sebab yang tak kau inginkan. Saat kepalamu dipenuhi rasa takut dan kesepian. Kau menangis dan mencari perlindungan. Kau penuhi telingaku dengan kata-kata dan air mata hingga larut malam -hingga kau terpejam.

Perlahan ku rakit pertemuan, agar kau bercerita, agar aku ada, agar kita berdua. Tawa pun terlepas dan Bahagia terekam jelas, di sepanjang jalan pulang, pagi hingga malam, cerah maupun hujan. Kita benar-benar berhasil saat itu. Rencana demi rencana yang ku susun terus kau ingatkan, dari tempat makan hingga permainan.

 Tanpa sadar, kita melarut dalam semesta lain yang kita ciptakan. Saling mengisi dan menunggu giliran temu, kau Lukis hal-hal indah yang belum pernah aku lihat, ku warnai setiap garis yang terukir di bawah alam sadar, ku peluk kuat setiap harap dan selalu kau yang menghangatkannya.

Namun, tiba-tiba saat belum genap ku usap air matamu, kau datang dan kembali menangis meminta temu, menciptakan satu malam dengan jeda terpanjang yang pernah ku lewati. Kemudian silau matahari menyala dengan penuh tanda tanya, kekacauan kian memuncak dan mengacak.

Pagi itu mata kita Kembali bertemu dan Kau memulai bincang dengan canda yang tidak sama sekali berhasil menenangkanku. Aku membawakanmu coklat dengan surat meratap penuh do’a yang aku tulis semalam, namun kau hanya membawa kabar buruk tanpa sedikitpun pesan harapan di dalamnya.

 

kau ingin mengakhiri semuanya

dengan Kembali menerima sosok lama

yang menjadi sebabmu terluka.

 

Ego menyeruak membanjiri lumbung ingatan, melenyapkan separuh harapan, dan banyak rencana. Dengan masih dipenuhi ribuan tanya, jujur saja. Apa masih kah kau ingat tentang tanya yang ku sampaikan dengan tatapan harap di suatu sore?

 

“Apakah ada dariku yang bisa ku benahi agar semakin kau terima?”

kemudian kau jawab:

“engga ada”

Dengan simpul senyum dan gelengan kepala.

 

Sekejap, setelah kau putuskan untuk kembali, aku merasakan ada hal yang mati dalam diriku dan harus segera aku kuburkan. Tanpa aba-aba mekar pun kau petik, kau tebang separuh tumbuhku, kau injak titik yang sempat ku anggap berhasil kau semai. Kau pergi, untuk menukar kata kembali pada kisah lalu yang selalu kau tangisi di pundakku. Kau mengusirku kembali pada kesendirian saat aku belum menemukanmu, kau pukul mundur segala hal yang kita upayakan, kau sembunyikan aku rapat-rapat, mengajakku agar dapat menganggap semuanya tak pernah terjadi.

Kau binasakan setitik harap yang telah begitu payah kutumbuhkan, kau asingkanku dalam kenyataan buruk yang lucunya kau anggap biasa saja. Kau memintaku agar mengerti dan menjalani semuanya seperti sediakala dengan penuh senyuman.

Aku kebingungan.

Aku sendirian.

Bak terusir dari kapal pesiar yang memutar balik arah tujuan, tak ada tempat bagiku untuk pulang selain dilenyapkan dengan mati tenggelam, ditelan ombak yang kau ciptakan dari egomu yang tak pernah sama sekali bisa ku taklukan.

Ditengah ancang-ancang kematianku, ku kembali melihatmu sumringah dengan arah lamamu, berdua seperti tak ada badai yang kau ceritakan lalu, mengahabiskan malam yang seharusnya itu denganku.

Karam, salahku menjadikanmu sebagai satu-satunya kepulangan.

Regas, salahku mengupayakanmu sebagai satu-satunya kehadiran.

 

Kini biarlah kabut tebal menutupi langkahku kala melompat, jatuh tenggelam di palung tercuram tanpa suara. Berbahagialah kau disana, hiduplah.