Aku
sekalipun tak pernah memutuskan untuk hadir, apalagi sampai sejauh ini
menemanimu. Jauh sebelum kau ada untuk membereskan semuanya pun aku telah
terlatih dengan sepi, berjalan kemanapun tanpa ada rasa cemas dan khawatir
seperti saat ini –padamu.
Justru
kau lah yang terbang bersama seribu kecemasanmu, kemudian memilih hinggap dan
bersarang sekejap di telinga, jemari, pipi, dan mataku. Merapikan dan
memberikan jahitan rapi pada setiap luka, tanpa aku minta. Saat itu kau hadir
dengan penuh penerimaan tanpa jeda yang belum pernah sama sekali aku rasakan.
Kau yang butuh sembuh namun aku yang kau pulihkan.
Sejak
hari itulah, aku terus memikirkanmu. Setiap malamku dipenuhi pertimbangan baru
yang belum pernah sama sekali aku pikirkan; tentang keseriusan, komitmen, dan
Keputusan-keputusan besar yang nyaris saja ku layangkan tanpa perhitungan panjang.
Sejauh itu, aku.
Andai
kau tau, hingga saat ini, masih terdengar jelas saat pita suaramu melirih pedih
karena sebab yang tak kau inginkan. Saat kepalamu dipenuhi rasa takut dan kesepian.
Kau menangis dan mencari perlindungan. Kau penuhi telingaku dengan kata-kata
dan air mata hingga larut malam -hingga kau terpejam.
Perlahan
ku rakit pertemuan, agar kau bercerita, agar aku ada, agar kita berdua. Tawa
pun terlepas dan Bahagia terekam jelas, di sepanjang jalan pulang, pagi hingga
malam, cerah maupun hujan. Kita benar-benar berhasil saat itu. Rencana demi
rencana yang ku susun terus kau ingatkan, dari tempat makan hingga permainan.
Tanpa sadar, kita melarut dalam semesta lain
yang kita ciptakan. Saling mengisi dan menunggu giliran temu, kau Lukis hal-hal
indah yang belum pernah aku lihat, ku warnai setiap garis yang terukir di bawah
alam sadar, ku peluk kuat setiap harap dan selalu kau yang menghangatkannya.
Namun,
tiba-tiba saat belum genap ku usap air matamu, kau datang dan kembali menangis
meminta temu, menciptakan satu malam dengan jeda terpanjang yang pernah ku
lewati. Kemudian silau matahari menyala dengan penuh tanda tanya, kekacauan
kian memuncak dan mengacak.
Pagi
itu mata kita Kembali bertemu dan Kau memulai bincang dengan canda yang tidak
sama sekali berhasil menenangkanku. Aku membawakanmu coklat dengan surat
meratap penuh do’a yang aku tulis semalam, namun kau hanya membawa kabar buruk
tanpa sedikitpun pesan harapan di dalamnya.
kau ingin mengakhiri
semuanya
dengan Kembali
menerima sosok lama
yang menjadi sebabmu terluka.
Ego
menyeruak membanjiri lumbung ingatan, melenyapkan separuh harapan, dan banyak
rencana. Dengan masih dipenuhi ribuan tanya, jujur saja. Apa masih kah kau
ingat tentang tanya yang ku sampaikan dengan tatapan harap di suatu sore?
“Apakah ada dariku
yang bisa ku benahi agar semakin kau terima?”
kemudian kau jawab:
“engga ada”
Dengan simpul senyum
dan gelengan kepala.
Sekejap,
setelah kau putuskan untuk kembali, aku merasakan ada hal yang mati dalam
diriku dan harus segera aku kuburkan. Tanpa aba-aba mekar pun kau petik, kau
tebang separuh tumbuhku, kau injak titik yang sempat ku anggap berhasil kau
semai. Kau pergi, untuk menukar kata kembali pada kisah lalu yang selalu kau
tangisi di pundakku. Kau mengusirku kembali pada kesendirian saat aku belum
menemukanmu, kau pukul mundur segala hal yang kita upayakan, kau sembunyikan
aku rapat-rapat, mengajakku agar dapat menganggap semuanya tak pernah terjadi.
Kau
binasakan setitik harap yang telah begitu payah kutumbuhkan, kau asingkanku
dalam kenyataan buruk yang lucunya kau anggap biasa saja. Kau memintaku agar
mengerti dan menjalani semuanya seperti sediakala dengan penuh senyuman.
Aku
kebingungan.
Aku
sendirian.
Bak
terusir dari kapal pesiar yang memutar balik arah tujuan, tak ada tempat bagiku
untuk pulang selain dilenyapkan dengan mati tenggelam, ditelan ombak yang kau
ciptakan dari egomu yang tak pernah sama sekali bisa ku taklukan.
Ditengah
ancang-ancang kematianku, ku kembali melihatmu sumringah dengan arah lamamu,
berdua seperti tak ada badai yang kau ceritakan lalu, mengahabiskan malam yang
seharusnya itu denganku.
Karam,
salahku menjadikanmu sebagai satu-satunya kepulangan.
Regas,
salahku mengupayakanmu sebagai satu-satunya kehadiran.
Kini
biarlah kabut tebal menutupi langkahku kala melompat, jatuh tenggelam di palung
tercuram tanpa suara. Berbahagialah kau disana, hiduplah.